sebenernya ini tulisan saya yang membusuk di microsoft word, daripada dibuang sayang. seorang teman meminta saya menulis untuk majalah barunya. menulis tentang pengalaman saya mendaki merapi, terkait dengan satu tahun erupsi besar di merapi. tapi apa daya tulisan saya yang ini terlalu banyak. ya iyalah, mereka menghendaki saya menulis satu halaman saya. ternyata susah! jadi ini tulisan versi pertama yang kemudian mereka tolak mentah2. haha. dan kemudian saya harus menyeseuaikan dan meringkasnya menjadi 1 halaman saja. enjoy!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"When you ride your bike, you're working your legs, but your mind is on a treadmill. When you play chess, your mind is clicking along, but your body is stagnating. Climbing brings it together in a beautiful, magical way. The adrenaline is flowing, and it's flowing all the time." - Pat Ament
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"When you ride your bike, you're working your legs, but your mind is on a treadmill. When you play chess, your mind is clicking along, but your body is stagnating. Climbing brings it together in a beautiful, magical way. The adrenaline is flowing, and it's flowing all the time." - Pat Ament
Ini merupakan perjalanan kedua saya mendaki Gunung Merapi. Sebelumnya pada tahun 2008 yang lalu, saya dan tiga teman saya berhasil mencapai Puncak Merapi. Pasca erupsi besar Gunung Merapi yang terjadi sekitar setahun yang lalu, tentu saja mengubah bentuk Pucak Merapi. Kata orang “geger boyo” sekarang sudah tidak ada lagi. Jadi dari puncak kita bisa melihat pemandangan arah Jogja dengan jelas tanpa terhalang “geger boyo”. Hal ini yang kemudian membawa saya dan lima teman saya memutuskan untuk melakukan pendakian Gunung Merapi pada tanggal 2 Oktober 2011 yang lalu. Kalau kata orang Puncak Merapi setinggi 2.968 m dpal. Kata orang sih. Kalau menurut hemat saya, puncak tersebut bisa berubah-ubah tiap kali Merapi meletus. Jadi daripada susah tidak ada acuan jelas berapa tinggi pasti Merapi. Saya lebih suka menyebutnya sebagai hampir 3000 m dpal. Tapi apapun itu, mendaki salah satu gunung berapi teraktif di dunia tetap sesuatu yang menantang buat saya.
Kami berencana berangkat dari Jogja pada pukul 19.00, namun seperti biasa harus “ngaret” sampai pukul 21.00. Setelah berhasil berkumpul dan siap dengan peralatan masing-masing akhirnya kami berangkat menuju basecamp pendakian di Selo. Selama di jalan, kami membayangkan apa yang terjadi di tempat itu kira-kira setahun yang lalu. Orang-orang berhamburan panik keluar rumah dan bergegas menuju ke arah selatan. Bahkan mungkin beberapa malah ada yang bergerak ke utara berusaha menyelematkan sisa keluarga atau tetangga yang tertinggal. Hujan abu pastilah membuat suasana tersebut tambah mencekam.
New Selo
Kami seakan terbangun dari pikiran ketika kendaraan yang kami tumpangi sudah mencapai basecamp. Selo merupakan jalur pendakian yang umum digunakan oleh para pendaki. Letaknya di sebelah utara Gunung Merapi, tepatnya di Desa Tlogolele, Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Desa ini terletak di ketinggian 1680 meter dpal (di atas permukaan air laut) di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Tidak jauh dari tempat ini terdapat Ketep Pass, sebuah objek wisata kegunungapian. Di tempat ini terdapat museum gunung berapi, bioskop mini, dan teropong gunung. Di sekitarnya juga terdapat beberapa wisata outbond.
Sesampainya di basecamp, terdapat beberapa warung dengan tulisan “New Selo” besar di atasnya. Cuaca dingin langsung terasa. Kabut sudah mulai tebal. Maklum kami sampai di sana sekitar pukul 23.00. Kami langsung mampir ke warung kopi di situ, memesan teh panas dengan gula batu. Sederhana, namun terasa sangat istimewa bagi saya. Dari pedagang di warung itu, kami juga menanyakan berapa banyak orang yang mendaki malam ini. Kata mereka, sangat banyak sekali, mungkin ada 150-an orang lebih. Wow, nampaknya akan menjadi pendakian yang ramai. Sambil menikmati teh panas (yang hanya terasa hangat di cuaca seperti itu) kami melakukan re-packing terakhir. Mengenakan jaket, penghangat kepala, dan sarung tangan. Lalu kemudian menyiapkan carrier, sleeping bag, peralatan memasak, senter, dan tenda yang kami bawa. Sembari melakukan penyesuaian dengan kondisi cuaca dan ketinggian di sekitar basecamp, kami akhirnya sepakat untuk memulai pendakian tepat pada pukul 12 malam.
![]() |
New Selo saat siang hari |
Pos 1 dan Jalur Kartini
Jam menunjukkan tepat pukul 12 malam. Kami pun memutuskan untuk memulai pendakian malam hari itu. Jalur pendakian Gunung Merapi cukup melelahkan. Berbeda dengan namanya yang "Selo", jalur pendakian dari sini sangatlah tidak 'selo'. Dikarenakan dari awal pendakian kita akan “dihajar” trek menanjak yang terjal. Bahkan bisa dikatakan sampai puncak kita hanya akan mendapati sedikit trek landai. Namun hal ini pula, yang mengakibatkan pendakian puncak Merapi bisa dilakukan dengan “hanya” mendaki sekitar 5 jam dari Selo. Cukup singkat dibanding gunung-gunung lainnya di Jawa Tengah.
Awal mendaki memang merupakan sesuatu yang sangat berat, otot tubuh kita masih menyesuaikan diri dengan aktivitas mendaki, bisa dikatakan sebagai “pemanasan”. Selama perjalanan kami berpapasan dengan banyak rombongan yang juga mendaki malam itu. Terlalu ramai menurut kami. Membuat kami harus sering berkata: "Mongga Mas, Monggo Pak, Monggo Mbak." ketika berjalan mendahului mereka. Ya, namanya orang Jawa meskipun di gunung, tetap ada tata krama-nya. Satu kendala lagi yang membuat pendakian Merapi sangat berbeda kali ini adalah debu vulkanik berterbangan yang ditinggalkan rombongan pendaki dari arah depan. Tak terbayangkan tebalnya debu ini kalau kami mendaki siang hari.
Awal mendaki memang merupakan sesuatu yang sangat berat, otot tubuh kita masih menyesuaikan diri dengan aktivitas mendaki, bisa dikatakan sebagai “pemanasan”. Selama perjalanan kami berpapasan dengan banyak rombongan yang juga mendaki malam itu. Terlalu ramai menurut kami. Membuat kami harus sering berkata: "Mongga Mas, Monggo Pak, Monggo Mbak." ketika berjalan mendahului mereka. Ya, namanya orang Jawa meskipun di gunung, tetap ada tata krama-nya. Satu kendala lagi yang membuat pendakian Merapi sangat berbeda kali ini adalah debu vulkanik berterbangan yang ditinggalkan rombongan pendaki dari arah depan. Tak terbayangkan tebalnya debu ini kalau kami mendaki siang hari.
Dari pendopo awal pendakian kami terus naik ke atas, sampai tak terasa kami sampai di Pos 1 (Selokopo Bawah). Karena pos 1 terlalu ramai, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak saja untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Di persimpangan, kami memilih jalan yang lebih landai ke arah Jalur Kartini. Jalur yang dulunya dilewati sungai, namun sekarang sudah kering. Angin terasa sepoi-sepoi di sana, cukup menyejukkan di tengah kesumpekan jalur sebelumnya. Semakin ke atas nampaknya jalur ini sudah jarang didaki. Memang rombongan pendaki lain memilih jalur lain yang melewati punggungan, sehingga hanya kami yang melewati jalur tersebut. Beberapa kali kami harus menerabas beberapa pohon yang rubuh dan menutupi jalur, bahkan sesekali harus memanjat.
Inilah salah satu keasikan dalam travelling yang tidak bisa Anda adaptasi ketika mendaki gunung, get lost. Percayalah, tersesat di gunung bukan sesuatu yang dianjurkan dalam hal ini. Karena merasa tidak yakin dan sedikit lupa dengan jalur tersebut, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke jalur utama (keesokan hari ketika kami turun kami baru tahu kalau memang jalur tersebut benar, namun terlihat usang karena tidak pernah dilalui). Kembali ke jalur utama, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kami berhenti sambil bersandar pada pohon sembari menatap langit ke arah bintang-bintang. Terasa keringat bercucuran panas di sekujur tubuh kami, berbanding terbalik dengan udara dingin di balik jaket kami. Kawan saya, Tejo, langsung mengeluarkan kompor dan nasting guna merebus air untuk menyeduh kopi dan teh panas. Istirahat sekitar 30 menit, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Kami memang sedikit terburu-buru, dikarenakan banyaknya pendaki, tentu kami tidak ingin kehabisan tempat camping. Kami sampai pada titik di mana kaki kami mulai merasa lelah ketika beristirahat. Sehingga kami benar-benar meminimalisir waktu beristirahat kami.
Pos 2 (Selokopo Atas)
Tidak lama kemudian kami sampai di Pos 2 (Selokopo Atas). Kali ini kami juga memutuskan untuk meneruskan perjalanan, karena jujur saat itu kami sudah sangat lelah dan ingin segera mencari tempat camping untuk mendirikan tenda. Sampai di ketinggian ini, jalur pendakian sudah berupa batu2 berukuran besar. Tanah berdebu yang kami lalui di bawah sudah mulai berkurang. Kami pun mulai mencari cari tempat yang enak untuk camping. Beberapa spot yang memang enak untuk mendirikan tenda pun sudah dipakai oleh teman-teman rombongan lain. Sampai akhirnya kami menemukan rombongan yang mempersilahkan kami bergabung. Mereka hanya bertiga (dua pria dan seorang wanita asing) dan tidak memakai tenda. Maka kami bisa mendirikan tenda kami di situ.
Sekitar pukul 3.00 kami beristirahat sambil menyalakan api unggun. Menghangatkan badan sembari mengeluarkan bekal yang kami bawa, memasak mie instant, membakar sosis dan nugget pemberian pacar saya. Sebenarnya pacar saya sangat ingin sekali ikut pendakian Gunung Merapi kali ini. Namun dia mengurungkan niatnya, karena kurang persiapan secara fisik dan mental. Alhasil hanya sosis dan nugget pemberiannya yang menemani saya.
Apalagi ketika sinyal ponsel di Merapi sudah tidak seperti dulu. Seingat saya saat mendaki tahun 2008 silam sinyal di Merapi sangatlah bagus, kita bisa sms-an di sana. Namun sekarang sinyal di sini sudah tidak begitu baik, mungkin akibat erupsi kemarin pikir saya. Satu lagi yang menjadi catatan ketika naik gunung adalah, bahwa semua hidangan makanan dan minuman di gunung terasa sangat nikmat. Meskipun itu hanya mie instan, atau bahkan kopi sachet bercampur debu Merapi. Maknyus..
![]() |
tenda yang kami dirikan. foto diambil ketika pagi hari |
Sekitar pukul 3.00 kami beristirahat sambil menyalakan api unggun. Menghangatkan badan sembari mengeluarkan bekal yang kami bawa, memasak mie instant, membakar sosis dan nugget pemberian pacar saya. Sebenarnya pacar saya sangat ingin sekali ikut pendakian Gunung Merapi kali ini. Namun dia mengurungkan niatnya, karena kurang persiapan secara fisik dan mental. Alhasil hanya sosis dan nugget pemberiannya yang menemani saya.
Apalagi ketika sinyal ponsel di Merapi sudah tidak seperti dulu. Seingat saya saat mendaki tahun 2008 silam sinyal di Merapi sangatlah bagus, kita bisa sms-an di sana. Namun sekarang sinyal di sini sudah tidak begitu baik, mungkin akibat erupsi kemarin pikir saya. Satu lagi yang menjadi catatan ketika naik gunung adalah, bahwa semua hidangan makanan dan minuman di gunung terasa sangat nikmat. Meskipun itu hanya mie instan, atau bahkan kopi sachet bercampur debu Merapi. Maknyus..
Kami kemudian saling berbagi dengan kenalan baru kami. Yang kemudian kami ketahui mereka adalah bikers yang sama sekali tidak ada niatan untuk naik Merapi, namun kawannya sang wanita yang berasal Jerman ini sangat ingin mendaki Merapi. Sehingga mereka sama sekali tanpa persiapan. Cerita seputar keganasan Gunung Merapi nampaknya juga menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Dia bercerita, saat erupsi Merapi tahun lalu. Berita-berita di luar negeri banyak menyorot Merapi. Tak terasa sudah jam 6.00 dan kami baru sadar bahwa kami melewatkan sunrise dikarenakan kabut yang masih sangat tebal. Ketiga orang kenalan kami itu pun pamit, untuk kemudian turun dan kami memutuskan untuk tidur dan beristirahat.
![]() |
berjejer bandeng di dalam tenda |
Watu Gajah dan Gajahmungkur
Bangun jam 8.30 kami kemudian berbenah untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Cuaca sangat cerah, sangat enak untuk melakukan pendakian. Namun salah satu kawan saya, Papin, memutuskan untuk tetap di camp guna menjaga barang bawaan kami. Papin adalah yang paling senior dalam rombongan kami. Namun dari awal dia memang kurang persiapan fisik dan tidak ingin mencapai puncak, sekedar ingin mengantar kami dan menjadi penunjuk arah. Sehingga saya dan sisa tiga kawan saya bisa meninggalkan carrier dan hanya membawa bekal air mineral guna mendaki sampai puncak. Jam 9.00 saya mulai mendaki kembali. Selangkah demi selangkah kami lalui, dengan sedikit ringan beban di pundak kami, karena sudah tidak membawa carrier. Tidak lama mendaki, kami sudah sampai di Watu Gajah. Setelah melewati Watu Gajah, jalur yang dilewati agak sedikit mudah. Karena banyak trek landai namun sesekali melewati batu besar. Di sini kami bisa berjalan lebih santai, sambil sesekali mengambil pose untuk berfoto. Sampai kami akhirnya sampai di Gajahmungkur, sebuah trek landai yang seakan menjadi bonus sebelum trek terjal dan berat menuju puncak nanti.
![]() |
dengan latar belakang trek gajahmungkur. yang dulunya penuh pepohonan, sekarang kering |
Pasar Bubrah
Sekitar jam 10.30 kami sudah mencapai Pasar Bubrah. Sebelumnya terdapat sebuah petilasan untuk mengenang pendaki yang meninggal di situ. Petilasan tersebut nampaknya baru, karena bentuknya yang lama tidak seperti itu seingat saya, mungkin terkena dampak erupsi Merapi. Di Pasar Bubrah, kami menemui banyak teman pendaki di sana. Mereka mendirikan tenda, dan beristirahat di sana sambil menunggu teman-teman mereka mendaki puncak.
Tidak ada yang tahu pasti kenapa tempat itu dinamakan Pasar Bubrah. Yang jelas tempat itu adalah padang datar, yang luasnya 4 kali lapangan sepakbola mungkin, lalu penuh dengan batu-batu besar di sana. Seperti sebuah pasar yang hancur (bubrah). Beberapa cerita seram juga meliputi tempat yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya jin-jin Gunung Merapi. Bahkan konon, nama Pasar Bubrah diambil dari keadaan daerah ini ketika malam yang katanya sangat ramai, riuh, dan terdengar seperti suara Pasar. Warga di sekitar lereng gunung juga percaya bahwa makhluk-makhluk tersebut sesekali turun ke Pasar Selo untuk berbelanja. Dan warga tersebut tahu persis mana yang manusia dan bukan manusia. Believe it or not..
Di sini kami beristirahat sejenak, sambil mempersiapakan diri kami untuk menaik trek terakhir untuk mencapai puncak Merapi.
![]() |
saya dengan latar pasar bubrah di belakang. tampak banyak pendaki yang camping di sini |
Trek Menuju Puncak
Suka atau tidak suka Anda harus melewati trek ini. Trek tinggi penuh dengan batu-batu kecil dan pasir. Yang ketika diinjak terkadang ambles dan membuat Anda sedikit terpeleset. Butuh ekstra hati-hati dan ketekunan di trek ini. Trek yang cukup melelahkan karena sedikit ekstrim. Dan jujur, trek yang paling saya benci. Melihat banyaknya pendaki yang melewati trek ini, membuat trek ini semakin rata dan licin. Niatan saya untuk mengantar tiga teman saya sampai Pasar Bubrah kemudian berubah. Saya kembali tertantang untuk mendaki sampai puncak Merapi. Saat itu puncak Merapi tidak tampak dan hanya tertutup kabut.
Saya dan tiga teman saya kemudian mulai mendaki pada pukul 11.00 perlahan dengan sedikit merangkak di trek ini. Sambil sesekali memperingati teman yang ada di bawah jika saya menginjak batu besar dan menjatuhkannya. Begitu juga dengan teman saya yang ada di atas saya. Cukup melelahkan, apalagi ketika melihat ke bawah dan sadar bahwa trek yang dilalui belumlah tinggi. Sesekali kita terpeleset, dan terasa sangat mendebarkan kalau kita terjatuh ke bawah. Sampai pada satu titik, di mana saya merasa sudah salah ambil jalur. Sementara teman saya yang lain berada di jalur yang benar. Saya kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan saya. Saya dan satu rekan di belakang saya, Yoko, kemudian turun untuk kembali ke camp kami. Sementara dua teman saya yang berada di jalur berbeda, Tejo dan Krisan, memutuskan untuk terus mendaki puncak Merapi yang kali ini sangat pemalu ditutupi kabut sangat tebal.
Perjalanan Turun
"Getting to the top is optional. Getting down is mandatory” - Ed Viesturs.
Saya kemudian bergegas cepat menuju camp karena sangat ingin melanjutkan tidur saya. Tanpa menghiraukan Yoko yang sedikit tertinggal di belakang saya. Jam 12.30 saya sudah sampai di camp. Sesampainya di camp, Papin sudah merebus air panas, langsung saja saya membuat mie instan. Sehabis makan saya kemudian tertidur, dan kemudian terbangun sekitar pukul 14.00 lalu kemudian menunggu dua teman saya, Tejo dan Krisan, yang tadi mendaki sampai puncak namun belum kembali. Sambil menunggu, saya dan dua teman saya berbenah-benah. Sehingga ketika mereka pulang, kita bisa langsung bergegas turun sebelum hari kembali gelap. Tidak lama kemudian, dua teman saya yang ditunggu-tunggu sampai ke camp. Ekspresi keduanya sangatlah puas bercampur lelah yang luar biasa.
Istirahat sejenak, kemudian sekitar pukul 15.30 kami segera bergegas menuruni Gunung Merapi. Dengan sedikit berlari kami menuruni trek-trek terjal yang kami lalui semalam. Maklum, kalau pelan-pelan maka kaki akan lelah mengerem laju turun. Apalagi ketika kaki kami sebenarnya sudah sangat lelah menopang tubuh kami. Jadi kami lebih suka menuruninya dengan sedikit berlari. Teknik ini memang tidak begitu melelahkan dan lebih cepat, namun memerlukan konsentrasi yang lebih. Karena hilang konsentrasi sedikit akan sangat berbahaya, karena bisa mengakibatkan jatuh terpeleset.
Langkah demi langkah yang ada di kepala saya hanyalah teh panas dan tempe goreng di bawah nanti. Setidaknya itu yang menyemangati saya untuk bergegas turun ke bawah. Dan kali ini kami turun melewati Jalur Kartini, tempat di mana kami merasa tersesat semalam. Setelah melewati Jalur Kartini kami melewati perkebunan penduduk. Lucunya lagi-lagi kami “kebablasan” sehingga membuat kami berada di sisi sebelah New Selo, namun terpisah jurang. Kami hanya tertawa melihat New Selo di seberang sana. Sangat sial memang. Namun Papin kemudian memutuskan untuk mencarikan jalur alternatif di sekitar perkebunan penduduk, dan menemukan jembatan kecil guna menyeberang. Akhirnya sekitar pukul 17.00 kami berhasil menjejakkan kaki kembali di basecamp meskipun melalui jalur yang berbeda.
Langkah demi langkah yang ada di kepala saya hanyalah teh panas dan tempe goreng di bawah nanti. Setidaknya itu yang menyemangati saya untuk bergegas turun ke bawah. Dan kali ini kami turun melewati Jalur Kartini, tempat di mana kami merasa tersesat semalam. Setelah melewati Jalur Kartini kami melewati perkebunan penduduk. Lucunya lagi-lagi kami “kebablasan” sehingga membuat kami berada di sisi sebelah New Selo, namun terpisah jurang. Kami hanya tertawa melihat New Selo di seberang sana. Sangat sial memang. Namun Papin kemudian memutuskan untuk mencarikan jalur alternatif di sekitar perkebunan penduduk, dan menemukan jembatan kecil guna menyeberang. Akhirnya sekitar pukul 17.00 kami berhasil menjejakkan kaki kembali di basecamp meskipun melalui jalur yang berbeda.
Dan akhirnya, saya mendapatkan teh panas plus tempe goreng sebagai penyejuk sore itu. Langit pun sudah kembali berkabut. Tak lama kemudian turun hujan gerimis. Untungnya kami sudah sampai di bawah. Kami kemudian sedikit membersihkan diri kami menggunakan fasilitas kamar mandi umum di sana. Dan tentu saja dengan menggunakan air yang dinginnya seperti air es. Setelah itu, kami kemudian memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta.
Meskipun kali ini saya tidak mencapai puncak, tapi seperti pendakian saya yang lain, mendaki gunung memberikan saya banyak pelajaran. Pelajaran bagaimana kita mampu menaklukan diri kita sendiri, bukan sekedar untuk menaklukan alam. Manusia terkadang terlalu rakus untuk mencoba menaklukan alam. Padahal kita tidak akan pernah bisa melakukannya. Gunung Merapi sudah membuktikannya sejak berabad-abad. Kerakusan manusialah yang seharusnya ditaklukan.
“It is not the mountain we conquer but ourselves.” - Edmund Hillary (first man reached The Top of Mount Everst)
“It is not the mountain we conquer but ourselves.” - Edmund Hillary (first man reached The Top of Mount Everst)
![]() |
sunrise di Merapi tahun 2008 silam |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar