Rabu, 16 November 2011

#eastjavatrip Masyarakat Suku Tengger

Sesuai janji saya, berikut semacam reportase (ciee reportase) selama saya menetap di Desa Tosari, Pasuruan.

Jadi, selain bekerja di bidang pariwisata, sejumlah warga Tosari masih melanjutkan tradisi nenek moyang mereka, Suku Tengger, yaitu bertani. Mereka adalah petani yang hebat, para ksatria Bromo, kalau kata tukang ojek yang mengantar saya dari Nongkojajar ke Tosari. Meskipun bertani, namun mereka bisa dikatakan hidup berkucukupan. Ya iyalah mereka bertani kentang, pikir saya J. Namun paling tidak begitulah harusnya petani, bisa berkucukupan bahkan kalau perlu, petani haruslah kaya. Itu harapan saya sih. 

Oya, sepanjang perjalanan dari Nongkojajar ke Tosari via ojek itu, saya banyak mendapat cerita tentang kehidupan masyarakat Tengger di sana. Ya, mulai dari masyarakatnya yang bekerja di sektor pertanian dan pariwisata. Selain itu saya juga mendapat cerita tentang kerukunan beragama di sana. Di sepanjang jalan saya banyak menemui tugu batu kecil yang ditutupi kain. Ciri khas kalau di situ banyak bermukim masyarakat beragama Hindu. Iya, kata supir ojek tersebut. Karena bisa dikatakan agama asli penduduk situ adalah Hindu-Buddha, dan ada beberapa yang sudah beralih ke Islam. Namun penduduk Hindu – Islam di sana tetaplah hidup rukun bersama. Tidak ada perubuhan patung atau apapun itu #eh.

Hal senada juga saya dengar dari Pak Bagong (pengemudi jeep kami). Pak Bagong bercerita bagaiamana kehidupan beragama di sini sangatlah baik. Masyarakat Islam dan Hindu mampu hidup berdampingan. Selain dua agama tersebut, terdapat juga penduduk yang beragama Kristen. Bahkan satu-satunya SMA di Desa Tosari adalah sekolah Kristen. Jadi di tengah masyarakat Islam-Hindu terdapat satu sekolah beragama Kristen di sana. Pak Bagong mengatakan bahwa dirinya adala muslim namun dia dulu juga bersekolah di sana. Dan itu tidak mempengaruhinya, sekarang dia tetap menjadi seorang muslim yang taat.

Dari Pak Bagong juga saya mendengar kisah (atau dongeng lebih tepatnya) tentang asal muasal suku Tengger. Kisah ini juga pernah saya baca di sebuah diorama di Museum Gunung Berapi Merapi di Sleman, Yogyakarta. Konon nama suku ini berasal dari nenek moyang mereka, yaitu “Joko Seger” dan “Roro Anteng”, gabungan kedua nama tersebut yang kini dikenal sebagai “Tengger” (Anteng-Seger). Joko Seger adalah anak dari seorang petapa (Brahmana) dengan istrinya yang tinggal di lereng Bromo. Konon ketika lahir, tangisan Joko sangat keras, sehingga orangtuanya memberi nama Joko Seger. Berbeda dengan Roro Anteng, yang dilahirkan dari pasangan Raja dan Permaisuri Kerajaan Majapahit yang mengungsi ke lereng Gunung Bromo, akibat kalah perang dengan anaknya. Ketika dilahirkan Roro Anteng sangat tenang, dan tidak menangis, maka kedua orangtuanya menamakannya Roro Anteng (anteng = diam dalam bahasa Jawa). *Kalau dalam sejarah, raja ini semestinya Raden Brawijaya. Raden Brawijya yang beragama Hindu hendak melarikan diri dan mengungsi ke Bali, dikarenakan anaknya Raden Patah dengan Kerajaan Demak yang saat itu menganut agama Islam berhasil mengalahkannya, inilah alasan masyarakat asli Tengger mayoritas menganut agama Hindu*

Dua anak yang tumbuh dewasa ini akhirnya menikah dan tinggal di lereng Gunung Bromo. Mereka tinggal di sebuah desa yang kemudian mereka namai Tengger. Namun setelah lama menikah, mereka tidak kunjung dikaruniai anak. Sampai akhirnya Joko Seger bersumpah di kaki Gunung Bromo “Jika aku mempunyai 25 anak. Aku akan mengorbankan salah satu anakku, untuk menjadikan sesaji di Kawah Gunung Bromo”. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, kemudian muncul api dari Kawah Gunung Bromo, pertanda doa dan sumpah itu didengar oleh Dewa.

Dewa nampaknya benar-benar memenuhi doa mereka. Joko Seger dan Roro Anteng kemudian dikaruniai anak. Sampai akhirnya mereka mempunyai 25 anak. Saking gembira dan bahagianya, Joko Seger lupa akan janjinya tersebut. Sampai akhirnya pada suatu malam, ketika Joko Seger tidur, Dewa datang dalam mimpinya dan menagih sumpah Joko Seger untuk mengorbankan anaknya. Keesokan paginya, Joko Seger sangat resah karena dia sangat mencintai semua anaknya.

Kemudian dikumpulkannya ke-25 anaknya itu. Di depan mereka semua Joko Seger menjelaskan sumpahnya kepada Dewa. Anak sulungnya yang mendengar itu, tidak mau dan tidak bersedia untuk mengorbankan diri. Anak-anak yang lain pun demikian. Sampai akhirnya, si anak bungsu, yang bernama Jaya Kusuma bersedia berkorban demi saudara-saudaranya. Sebelum menceburkan diri ke dalam kawah Bromo, Jaya Kusuma meminta kepada ayah, ibu, dan saudara-saudaranya untuk mengirimkan hasil perkebunan ke kawah Gunung Bromo.

Tradisi ini yang kemudian masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger di sekitar Gunung Bromo, dengan melaksanakan Tradisi Kasadha. Tradisi yang diadakan dengan memasukkan berbagai sesaji dan hasil perkebunan ke dalam Kawah Gunung Bromo, tempat Jaya Kusuma menceburkan diri. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa. Terakhir Tradisi Kasadha ini dilakukan pada tanggal 14-15 Agustus 2011 yang lalu. Tradisi tahunan ini selalu mengundang minat para wisatawan baik asing maupun dalam negeri.

Selain Tradisi Kasadha, ada juga tradisi-tradisi lain yang masih diletarikan oleh Suku Tengger, yaitu Tradisi Karo. Kalau kata Pak Bagong, tradisi ini mirip tradisi lebaran. Di mana perayaan dilakukan sebulan penuh dengan saling silaturahmi. Selama sebulan ini mereka juga pesta, dan makan-makan. Uniknya tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh penganut agama tertentu saja, tapi dilakukan oleh semua warga, baik beragama Hindu, Islam, maupun Kristen. Ini sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap budaya nenek moyang mereka. Acara ini dirayakan setiap tanggal 15 bulan Karo (kedua) tahun saka. Dalam masyarakat Tengger mereka menganggap Karo adalah hari besar mereka. Sehingga mereka merayakannya lebih meriah dari Kasadha. Sehingga beberapa dari mereka bahkan harus libur berladang untuk merayakan hari raya ini. Dukun adat akan mendatangi rumah para warga satu per satu untuk mendoakan rumah tersebut. Pesta-pesta pokoknya kalau kata Pak Bagong. Oke Pak, besok saya ke sana lagi pas Hari Raya Karo aja! ;D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar