Rabu, 16 November 2011

#eastjavatrip Bondowoso

Salah satu hal yang tidak mengenakkan dalam perjalanan #eastjavatrip saya kali ini adalah terdampar di sebuah kota yang bernama Bondowoso. Ya, saya sama sekali tidak merencanakan untuk singgah lama di kota ini. Tapi saya sudah kehabisan angkutan untuk membawa saya keluar dari kota ini menuju Kebun Blawan, Sempol. Hal ini membuat rencana saya sedikit berantakan, dan harus saya re-schedule ulang.

Jadi setelah selesai dari Gunung Bromo, saya kemudian segera bergegas dari Desa Tosari di Pasuruan ke bawah, ke daerah kota Pasuruan. Agak terburu-buru memang, dikarenakan dari beberapa sumber yang saya dapat, angkutan umum ke Kawah Ijen hanya beroperasi sampai kira-kira pukul 16.00. Saat itu saya berangkat dari Desa Tosari sekitar pukul 12.00 (naik taksi seharga Rp 20.000/orang), sampai di Pasuruan sekitar pukul 14.00. Kemudian pukul 15.30 mencapai Probolinggo dengan naik bis seharga Rp 9.000/orang. Dan tet tot! Tidak mungkin saya mencapai Bondowoso pukul 16.00. Tapi akhirnya saya dan pacar saya tetap nekad menuju Bondowoso menggunakan bis dari terminal Probolinggo, dengan membayar Rp. 14.000/orang.

Dan benar, sampai di Bondowoso sekitar pukul 18.30, saya sudah kehabisan angkot menuju tempat tujuan saya di Kebun Blawan, Sempol. Di terminal Bondowoso, ada supir ojek yang menawari saya untuk mengantar ke tujuan saya tersebut, namun dengan ongkos Rp. 100.000/orang. Kalau di total, saya berdua dengan pacar saya akan menghabiskan Rp. 200.000. Ah, saya tidak rela!

Supir ojek itu meyakinkan saya, bahwa jalan ke sana sudah rusak, melewati hutan pula. Dan rawan longsor, apalagi ketika musim hujan seperti sekarang. Kesalahan si tukang ojek. Cerita ini malah membuat saya benar-benar mengurungkan niat untuk bergerak menuju Blawan malam itu. Akhirnya saya memutuskan untuk menunda perjalanan saya sehari, untuk terpaksa bermalam di Bondowoso. Saya kemudian mencari penginapan tidak jauh dari terminal. Hanya dengan ongkos Rp 5.000 naik becak menuju hotel tersebut. Saya lupa hotelnya, tapi pasti semua tukang becak dan ojek di Bondowoso tahu hotel tersebut. Tarif kamarnya hanya Rp 55.000 semalam. Cukup murah, karena keesokan paginya saya harus segera bergegas ke terminal. Layanan minimal dari penginapan sudah saya maklumi, tapi paling tidak saya dapat teh hangat sebagai welcome drink.

Keesokan paginya, Kamis 10 November 2011, datang pelayan yang kembali membawakan teh hangat untuk saya dan pacar saya. Setelah cuci muka, karena malas mandi, saya dan pacar saya kemudian bergegas ke terminal untuk menuju Kebun Blawan, Sempol. Di perjalanan menuju terminal, saya melewati sebuah stasiun. Saya kemudian meminta kepada tukang becak tersebut untuk berhenti. Saya hendak mencari jalur pulang, setelah dari Kawah Ijen nanti. Tapi ternyata, stasiun kereta api di Bondowoso sudah tutup. Kata tukang becak tersebut, sudah tutup sekitar 4 tahun yang lalu. Di beberapa ruas jalan terdapat rel kereta api tua yang sudah digunakan sebagai pemukiman penduduk. Pertanda tidak ada kereta api lagi yang melewati jalur rel kereta tersebut. Sangat disayangkan, sebuah kota dengan tujuan wisata yang menarik, namun tidak memilik akses kereta api ke kotanya. Hanya bis kota, satu-satunya transportasi publik guna mencapai Bondowoso.

Gerbong Maut
Sampai di sebuah sudut alun-alun terdapat sebuah monumen yang dinamakan Monumen Gerbong Maut. Karena penasaran, saya kemudian bertanya kepada tukang becak yang mengantarkan saya. Kemudian dia menceritakan tentang kisah kepahlawanan masyarakat Bondowoso. Pada masa penjajahan, Pemerintah Belanda banyak menangkapi para pemuda yang dianggap sebagai pemberontak dan kaum ekstrimis. Para pemuda ini dijebloskan ke dalam penjara Bondowoso. Sampai akhirnya penjara ini sudah sangat penuh dan melebihi kapasitas. Pemerintah Belanda saat itu kemudian memutuskan untuk memindahkan beberapa tahanan (yang kemudian saya ketahui sejumlah 100 orang). Seratus orang ini kemudian dimasukkan ke dalam 3 gerbong. Yang adalah gerbong barang, sehingga tidak ada jendela di dalamnya. Gerbong ketiga yang masih baru dan panjang menjadi rebutan para pejuang tersebut, padahal gerbong ini malah tidak mempunyai lubang ventilasi sama sekali.

Kereta ini membutuhkan waktu lebih dari 12 jam untuk mencapai Surabaya. Bayangkan ketika siang, panas terik matahari yang “memanggang” orang-orang ini. Perjalanan maut ini kemudian menewaskan semua orang di gerbong ketiga sejumlah 38 orang. Ditambah 8 orang meninggal dari gerbong kedua. Peristiwa ini yang kemudian diperingati sebagai “Gerbong Maut”. Kejadian ini yang kemudian menginspirasi film “Kereta Api Terakhir” (1981) yang dibintangi oleh Gito Rollies. Kisah yang membuktikan kekejaman luar biasa oleh tentara Belanda saat itu. Membuat saya semakin menyesal kenapa negeri ini tidak dijajah Inggris. Kenapa Raffles waktu itu cepat berlalu dari Pulau Jawa. Ah!

Sekitar pukul 9.00 saya kemudian tiba di terminal kota Bondowoso, tepat dengan berakhirnya cerita singkat dari tukang becak tersebut tentang sejarah dan asal muasal kota Bondowoso. Dari terminal Kota Bondowoso tersebut saya akan segera naik ke daerah perkebunan di lereng sekitar Kawah Ijen untuk bagian II dari #eastjavatrip. See you at the crater!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar