Jumat, 06 April 2012

Keindahan Pulau Komodo: Bukan Sekedar Kadal Raksasa (Day 2)

9 Maret 2012 pukul 6.00 WITA, saya terbangun di perairan Flores. Tepatnya di sekitar Pulau Kalong. Matahari pagi menyambut saya, sementara nampak bulan masih ada langit. Bau air asin yang seharian menemani pun langsung akrab dengan hidung saya. Sungguh atmosfer yang indah. Saya pun sempat mengabadikan suasana pagi itu. Beberapa kapal di depan kapal saya dan rombongan pun sudah bersiap-siap untuk bergegas. Tujuan selanjutnya sudah jelas, alasan saya datang jauh-jauh ke sana, yaitu Pulau Komodo. Hanya berjarak kurang lebih 1 jam dari Pulau Kalong untuk kemudian merapat di Loh Liang, dermaga di Pulau Komodo.


pagi di perairan Pulau Kalong

Pulau Komodo
Berbeda dengan di Pulau Rinca, saya hanya perlu berjalan sangat dekat untuk mencapai pos ranger. Di sana, saya hanya perlu menunjukkan bukti bea masuk yang sudah dibayar di Pulau Rinca. Sisanya hanya perlu membayar Rp 50.000/rombongan untuk biaya ranger. Selesai urusan administrasi, saya dan rombongan langsung bertemu ranger yang kemudian memberikan briefing singkat. Dan kami pun sepakat memilih jalur long trek yang memakan waktu sekitar 2 jam dengan berjalan kaki.

perfect catch :)
Selamat datang di Pulau Komodo
Treking kali ini sedikit lebih berat dari treking di Pulau Rinca. Vegetasi di Pulau Komodo tampak lebih liar dan lebat dari Pulau Rinca. Kita akan melewati pohon-pohon lebat, dan beberapa rumput yang tinggi (tak terbayangkan jika ada komodo atau ular di sana), dan menyeberangi sungai kecil. Di pulau ini kita bisa menemukan rusa, burung kakaktua, dan banteng, paling tidak itu yang saya temui selama perjalanan treking di Pulau Komodo.

Berjalan sekitar setengah jam, kami kemudian sampai di sebuah sumber air yang menjadi tempat favorit berkumpulnya komodo. Dan benar, kami menemukan seekor komodo jantan yang sangat besar. kira-kira dua kali ukuran komodo di Pulau Rinca.

seekor komodo jantan yang cuek dengan kehadiran kami
Ketika saya dan rombongan sedang asik mengabadikan momen tersebut, tiba-tiba dari arah belakang kami muncul seekor komodo betina. Untung sang ranger cukup tanggap dan memperingatkan kami. Jadi sekarang ada dua ekor komodo, tepat di depan dan di belakang kami, haha. Kami hanya diminta untuk tetap tenang, termasuk tidak melakukan tindakan panik dan mendadak. Sehingga perlahan kami bergeser, mempersilakan komodo betina tersebut untuk lewat. Sesaat kemudian komodo betina tersebut pun hanya jalan begitu saja, sedikit berjemur di bawah sinar matahari, dan kemudian langsung berlalu.



komodo betina yang tiba-tiba menghampiri saya dan rombongan

Perjalanan pun kemudian kami lanjutkan. Pemberhentian selanjutnya adalah sebuah tempat yang dulu dinamakan komodo feeding house. Ya, sesuai namanya tempat ini dulunya merupakan tempat memberi makan komodo, ranger memberi makan berupa rusa atau babi hutan. Dan momen ini juga merupakan daya tarik wisata tersendiri. Sehingga kata ranger yang mendampingi kami, dahulu ketika sedang memberi makan ratusan komodo berkumpul di sekitar tempat ini. Namun sekitar tahun 90’an pihak Taman Nasional Komodo memutuskan untuk berhenti memberi makan komodo. Alasannya, adalah agar habitat komodo tetap menjadi liar dan alami, tanpa campur tangan manusia. Selain itu, memberi makan komodo sama saja membuat mereka menjadi lebih agresif. Saat ini tempat ini hanya menjadi tempat peristirahatan, sekaligus menjadi situs memorial bagi manusia untuk tetap membiarkan alam ini bekerja dengan sendirinya.

Pemberhentian selanjutnya adalah top hill, dari namanya kita bisa tahu bahwa tempat ini adalah puncak tertinggi dalam trekking ini. Dari sini saya bisa memandangi hamparan hutan dan savana di Pulau Komodo yang bersebelahan dengan lautan luas. Selama perjalanan sehabis dari sumber mata air (di mana saya bertemu komodo) kami tidak menemukan satu pun komodo. Hanya beberapa jejak kaki mereka yang nampak di tanah.
pemandangan dari top hill
kiri-kanan: Tony, Peter, Daniela, Diah, dan saya


Legenda Naga dan Nenek Moyang Orang Komodo
Dari top hill kami kemudian turun terus ke bawah, sampai akhirnya sampai di pinggiran pantai. Tempat beberapa rumah warga dan tempat penjualan merchandise. Karena penasaran saya pun bertanya kepada ranger, “Kenapa orang-orang asli sini tetap tinggal di sini padahal mereka hidup berdampingan dengan komodo? Bahkan tidak jarang jatuh korban.” Ranger tersebut kemudian bercerita tentang legenda yang dipercaya masyarakat di Pulau Komodo. Legenda tersebut menceritakan bahwa konon nenek moyang mereka adalah saudara dari hewan tersebut.

Suatu waktu hiduplah seorang Putri di Pulau Komodo, dia menikah dengan Majo. Dari pernikahan tersebut mereka menghasilkan dua bayi kembar. Seorang bayi manusia bernama Gerong, dan seekor bayi naga bernama Orah. Si Orah kemudian dibesarkan oleh Sang Putri di dalam hutan, sehingga Gerong tidak mengetahui bahwa dia mempunyai saudara kembar. Suatu hari saat Gerong sedang berburu rusa, tiba-tiba datang naga yang mencium adanya bau darah dari daging rusa tersebut. Gerong yang panik pun berancang-ancang menembak Si Orah. Namun dari kejauhan Sang Putri datang dan berteriak “Jangan Gerong! Jangan bunuh naga itu. Dia adikmu!”.

Nampaknya legenda ini yang membuat masyarakat di Pulau Komodo mampu hidup berdampingan dengan hewan purba tersebut. Mereka menghormati dan menganggap komodo sebagai saudara mereka sendiri. Masyarakat di pulau tersebut kemudian membangun rumah panggung agar komodo tidak bisa masuk ke rumahnya. Namun mereka tidak memburu atau membunuh komodo yang bisa saja membahayakan hidup mereka. Komodo bebas berkeliaran di pulau tersebut, bersembunyi di bawah rumah mereka, atau di halaman rumah mereka bersama dengan anak-anak mereka. Terlepas benar atau tidaknya cerita itu, saya hanya meyakini bahwa alam akan membalas mereka yang menghormatinya.

seorang warga yang dengan santai telfon sementara di bawahnya komodo sedang berjalan
Selesai dari situ treking pun berakhir. Saya kemudian berjalan kembali menuju kapal, sambil mengucapkan terimakasih banyak kepada ranger yang telah menemani trekingt tadi. Ya, akhirnya saya sudah menginjakkan kaki di Pulau Komodo, yang sering disebut sebagai: Jurassic Park, tempat hidupnya hewan purba dengan kemampuan seperti dinosaurus ini.

dermaga di Pulau Komodo

Manta Point
Saya dan rombongan pun kemudian bergegas meninggalkan Loh Liang menuju destinasi selanjutnya yaitu Manta Point. Daniella, wanita asal Belanda, yang juga ikut dalam rombongan tampak paling antusias kali ini. Dia ingin sekali melihat manta, yang memang entah mengapa bagi wisatawan asing adalah primadona. Manta adalah hewan laut yang mungkin lebih kita kenal dengan nama ikan pari. Manta memang dikenal cukup ramah dengan manusia, sehingga seringkali kita lihat foto para penyelam yang bermain dengan manta. Namun kisah kematian Steve Irwin yang disengat ekor manta juga cukup menjadi peringatan bagi kita, bahwa hewan liar tidak selamanya mampu kita prediksi perilakunya.

Begitu sampai di spot yang biasa ditemukan manta, maka kapal saya pun hanya berputar-putar di perairan tersebut. Cukup luas memang tempat tersebut, sehingga kalau kita harus berenang mencarinya akan memakan waktu yang lama.

seorang ABK yang berdiri di ujung kapal untuk mencari manta di laut

Dan lagi-lagi saya beruntung, ada beberapa manta yang nampak di dasar laut. Memang seringkali, manta tersebut akan naik ke permukaan, tapi mendapati manta di spot tersebut saja sudah sebuah keberuntungan besar. Saya dan rombongan yang sudah bersiap-siap pun kemudian langsung terjun ke laut. Jika Anda bukan perenang yang hebat jangan malu untuk meminta life jacket kepada crew kapal. Karena perairan di sini cukup dalam, sekitar 7-10 meter. Seekor manta berukuran sedang, tampak ada di bawah saya. Kemudian bersahutan Peter dan Daniela yang menemukan manta di tempat lain. Saya pun kemudian menghampiri ke sana, sampai kemudian tanpa saya sadari ada 3 manta tepat di bawah saya. Salah satunya berukuran cukup besar, dengan lebar mungkin lebih dari 2 meter. Ingin rasanya berenang ke dasar dan melihat hewan tersebut dari dekat. Sayang kami tidak membawa peralatan diving. Tapi hanya dengan snorkle pun sudah cukup menyenangkan melihat primadona laut tersebut.

dua ekor manta di bawah saya
Kanawa Island
Selesai dari mana point, saya dan rombongan pun sudah sangat puas. Kami mendapatkan 2 hari yang menyenangkan. Cuaca buruk yang sebelumnya melanda Labuan Bajo, tiba-tiba menjadi sangat bersahabat. Bahkan selama 2 hari di perairan Flores kami tidak mengalami kehujanan. Tujuan selanjutnya adalah Pulau Kanawa. Sebenarnya saya diberi pilihan antara berhenti di Pulau Kanawa atau Pulau Bidadari. Harus dipilih salah satunya, karena pukul 18.00 WITA kapal harus sudah berlabuh di Labuan Bajo. Saya pun memilih untuk snorkeling di Pulau Kanawa. Saya tertarik dengan Kanawa Island Resort di sana, yang katanya dikelola oleh dua orang Italia. Konon katanya, dua orang Italia tersebut cukup over protected dengan pulau yang dikelolanya.

Benar saja, begitu akan merapat di dermaga Pulau Kanawa terdapat papan peringatan “Dilarang Membuang Jangkar”. Jadi kapal yang merapat di sana cukup mengikatkan tali ke dermaga, tanpa perlu membuang jangkar yang dianggap bisa mengganggu ekosistem karang di sana.

Dermaga Pulau Kanawa cukup eksotis, bentuknya tidak lurus dan rapi karena disusun dari kayu-kayu kecil. Tapi di ujung dermaganya terdapat semacam gasebo yang dilengkapi kantung tidur. Ah tampak menarik untuk disinggahi. Dan di sekeliling dermaga tersebut terdapat perairan dangkal yang terdapat beberapa batuan terumbu karang. Segerombolan ikan juga bersembunyi di dermaga tersebut. Saya pun tertarik untuk stay satu malam disana.

dermaga di Kanawa Island
welcome to Kanawa Island!


Harga menyewa bungalow di sana adalah Rp. 330.000/malam untuk dua orang. Atau ada pilihan alternatif yang sebenarnya lebih menarik yaitu mendirikan tenda di pinggir pantai. Ada pilihan mendirikan tenda sendiri, atau menyewa tenda dari resort tersebut. Harga bervariasi mulau dari Rp 75.000/orang. Namun dikarenakan saat saya ke sana cuaca sedang kurang baik, maka kami tidak disarankan untuk mendirikan tenda. Akhirnya saya dan pacar saya memutuskan untuk menyewa bungalow yang cukup sederhana tersebut.

bungalow di Kanawa Island
Setelah memesan bungalow, saya kemudian kembali ke kapal untuk mengambil barang-barang saya dan berpamitan dengan Peter, Tony, dan Daniela, 3 orang asing yang menjadi teman seperjalanan selama 2 hari. Begitu juga saya pamit dengan Mas Kiran, kapten kapal saya, seorang pemuda tangguh dari Labuan Bajo. Saya katakan kepada mereka bahwa 2 hari tersebut sangatlah menyenangkan, dan saya tidak sungkan untuk mengulanginya lagi J

Kembali, ke Kanawa Resort Island, dikarenakan ini adalah sebuah pulau kecil yang terpisah dari Labuan Bajo, jadi ada beberapa kebijakan terkait listrik dan air tawar di sini. Air tawar kita hanya dijatah satu bak tiap harinya, begitu juga listrik akan masuk ke bungalow tiap jam 18.00-23.00 WITA. Tetapi pihak resort juga memberi kesempatan listrik dan air tawar 24 jam di restoran tersebut. Sehingga para tamu yang membutuhkan bisa segera kesana. Selain itu beberapa aturan ketat juga diberlakukan, seperti dilarang menyalakan api unggun tanpa seijin pihak resort. Dan juga kebijakan konservasi terumbu karang yang melarang kita untuk menyentuh apapun selama aktifitas di bawah laut. Selain terdapat beberapa starfish yang berkeliaran, beberapa hewan yang beracun, tentu saja menyentuh terumbu karang bisa melukai mereka. Jadi singkat kata, jangan sentuh apapun selama di bawah laut.

Pantai yang indah di Kanawa Island
Apa yang bisa kita lakukan di sana? Selain snorkeling di sekitar dermaga, kita bisa bermain kano, diving, bermain voli di pinggir pantai, treking ke atas bukit untuk menikmati pemandangan dari atas atau sekedar bersantai di pinggir pantai/dermaga. Cukup menyenangkan bukan? Nampaknya satu hari terlalu singkat untuk melakukan semua itu.

Saya kemudian menghabiskan sore saya dengan berjalan-jalan di pinggir pantai, snorkeling, dan menunggu sunset di dermaga sambil ngobrol dengan salah satu pekerja di pulau itu. Saya banyak mendapat cerita tentang dua orang Italia pemilik pulau tersebut. Dari orang tersebut saya kemudian tahu bahwa ternyata pulau tersebut disewa (bukan dibeli) untuk jangka waktu 38 tahun oleh dua orang Italia tersebut. Masalah harga, mereka tidak berani mengkonfirmasi, tapi gosip-gosipnya (haha) disewa seharga Rp. 3,8 M untuk 38 tahun. Mendengar pernyataan tersebut, yang terbersit di pikiran saya adalah Feni Rose. Iya, Feni Rose yang sedang menawarkan apartemen dari Agung Podomoro Group (sampai hafal) dengan harga sekian miliar. 




Untuk masalah makan, mau tidak mau kita harus ke Starfish Bar and Resto yang ada disana. Dan harganya pun jelas cukup mahal bagi saya wisatawan lokal. Tapi mau bagaimana lagi, karena itu satu-satunya sumber makanan di pulau tersebut. Saya dan pacar saya pun memesan pizza. Karena pulau ini dikelola orang Italia, jadi wajar pizza yang disajikan pun cukup enak. Harganya pun tidak terlalu mahal. Ya daripada beli gado-gado seharga Rp 35.000, saya lebih memilih pizza seharga Rp. 45.000 yang bisa kenyang dimakan berdua.

makan malam ala Kanawa Island
Keesokan paginya saya harus bergegas karena fasilitas transportasi gratis yang diberikan pihak resort untuk kembali ke Labuan Bajo adalah pukul 9.00 WITA. 2 hari dan 2 malam tepat saya habiskan di perairan Flores, Manggarai Barat ini. Menemui naga purba langsung dari habitatnya, snorkeling di Pantai Merah, dan melihat manta si primadona laut. Pengalaman yang menyenangkan. Sembari meninggalkan pulau ini, saya hanya bisa berkata dalam hati: Saya harus kembali ke tempat ini suatu saat nanti! Harus!

*ditulis dengan senyum-senyum sendiri di depan laptop, secangkir coklat panas, dan Nick Drake*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar