Jumat, 06 April 2012

Keindahan Pulau Komodo: Bukan Sekedar Kadal Raksasa (Day 2)

9 Maret 2012 pukul 6.00 WITA, saya terbangun di perairan Flores. Tepatnya di sekitar Pulau Kalong. Matahari pagi menyambut saya, sementara nampak bulan masih ada langit. Bau air asin yang seharian menemani pun langsung akrab dengan hidung saya. Sungguh atmosfer yang indah. Saya pun sempat mengabadikan suasana pagi itu. Beberapa kapal di depan kapal saya dan rombongan pun sudah bersiap-siap untuk bergegas. Tujuan selanjutnya sudah jelas, alasan saya datang jauh-jauh ke sana, yaitu Pulau Komodo. Hanya berjarak kurang lebih 1 jam dari Pulau Kalong untuk kemudian merapat di Loh Liang, dermaga di Pulau Komodo.


pagi di perairan Pulau Kalong

Pulau Komodo
Berbeda dengan di Pulau Rinca, saya hanya perlu berjalan sangat dekat untuk mencapai pos ranger. Di sana, saya hanya perlu menunjukkan bukti bea masuk yang sudah dibayar di Pulau Rinca. Sisanya hanya perlu membayar Rp 50.000/rombongan untuk biaya ranger. Selesai urusan administrasi, saya dan rombongan langsung bertemu ranger yang kemudian memberikan briefing singkat. Dan kami pun sepakat memilih jalur long trek yang memakan waktu sekitar 2 jam dengan berjalan kaki.

perfect catch :)
Selamat datang di Pulau Komodo
Treking kali ini sedikit lebih berat dari treking di Pulau Rinca. Vegetasi di Pulau Komodo tampak lebih liar dan lebat dari Pulau Rinca. Kita akan melewati pohon-pohon lebat, dan beberapa rumput yang tinggi (tak terbayangkan jika ada komodo atau ular di sana), dan menyeberangi sungai kecil. Di pulau ini kita bisa menemukan rusa, burung kakaktua, dan banteng, paling tidak itu yang saya temui selama perjalanan treking di Pulau Komodo.

Berjalan sekitar setengah jam, kami kemudian sampai di sebuah sumber air yang menjadi tempat favorit berkumpulnya komodo. Dan benar, kami menemukan seekor komodo jantan yang sangat besar. kira-kira dua kali ukuran komodo di Pulau Rinca.

seekor komodo jantan yang cuek dengan kehadiran kami
Ketika saya dan rombongan sedang asik mengabadikan momen tersebut, tiba-tiba dari arah belakang kami muncul seekor komodo betina. Untung sang ranger cukup tanggap dan memperingatkan kami. Jadi sekarang ada dua ekor komodo, tepat di depan dan di belakang kami, haha. Kami hanya diminta untuk tetap tenang, termasuk tidak melakukan tindakan panik dan mendadak. Sehingga perlahan kami bergeser, mempersilakan komodo betina tersebut untuk lewat. Sesaat kemudian komodo betina tersebut pun hanya jalan begitu saja, sedikit berjemur di bawah sinar matahari, dan kemudian langsung berlalu.



komodo betina yang tiba-tiba menghampiri saya dan rombongan

Perjalanan pun kemudian kami lanjutkan. Pemberhentian selanjutnya adalah sebuah tempat yang dulu dinamakan komodo feeding house. Ya, sesuai namanya tempat ini dulunya merupakan tempat memberi makan komodo, ranger memberi makan berupa rusa atau babi hutan. Dan momen ini juga merupakan daya tarik wisata tersendiri. Sehingga kata ranger yang mendampingi kami, dahulu ketika sedang memberi makan ratusan komodo berkumpul di sekitar tempat ini. Namun sekitar tahun 90’an pihak Taman Nasional Komodo memutuskan untuk berhenti memberi makan komodo. Alasannya, adalah agar habitat komodo tetap menjadi liar dan alami, tanpa campur tangan manusia. Selain itu, memberi makan komodo sama saja membuat mereka menjadi lebih agresif. Saat ini tempat ini hanya menjadi tempat peristirahatan, sekaligus menjadi situs memorial bagi manusia untuk tetap membiarkan alam ini bekerja dengan sendirinya.

Pemberhentian selanjutnya adalah top hill, dari namanya kita bisa tahu bahwa tempat ini adalah puncak tertinggi dalam trekking ini. Dari sini saya bisa memandangi hamparan hutan dan savana di Pulau Komodo yang bersebelahan dengan lautan luas. Selama perjalanan sehabis dari sumber mata air (di mana saya bertemu komodo) kami tidak menemukan satu pun komodo. Hanya beberapa jejak kaki mereka yang nampak di tanah.
pemandangan dari top hill
kiri-kanan: Tony, Peter, Daniela, Diah, dan saya


Legenda Naga dan Nenek Moyang Orang Komodo
Dari top hill kami kemudian turun terus ke bawah, sampai akhirnya sampai di pinggiran pantai. Tempat beberapa rumah warga dan tempat penjualan merchandise. Karena penasaran saya pun bertanya kepada ranger, “Kenapa orang-orang asli sini tetap tinggal di sini padahal mereka hidup berdampingan dengan komodo? Bahkan tidak jarang jatuh korban.” Ranger tersebut kemudian bercerita tentang legenda yang dipercaya masyarakat di Pulau Komodo. Legenda tersebut menceritakan bahwa konon nenek moyang mereka adalah saudara dari hewan tersebut.

Suatu waktu hiduplah seorang Putri di Pulau Komodo, dia menikah dengan Majo. Dari pernikahan tersebut mereka menghasilkan dua bayi kembar. Seorang bayi manusia bernama Gerong, dan seekor bayi naga bernama Orah. Si Orah kemudian dibesarkan oleh Sang Putri di dalam hutan, sehingga Gerong tidak mengetahui bahwa dia mempunyai saudara kembar. Suatu hari saat Gerong sedang berburu rusa, tiba-tiba datang naga yang mencium adanya bau darah dari daging rusa tersebut. Gerong yang panik pun berancang-ancang menembak Si Orah. Namun dari kejauhan Sang Putri datang dan berteriak “Jangan Gerong! Jangan bunuh naga itu. Dia adikmu!”.

Nampaknya legenda ini yang membuat masyarakat di Pulau Komodo mampu hidup berdampingan dengan hewan purba tersebut. Mereka menghormati dan menganggap komodo sebagai saudara mereka sendiri. Masyarakat di pulau tersebut kemudian membangun rumah panggung agar komodo tidak bisa masuk ke rumahnya. Namun mereka tidak memburu atau membunuh komodo yang bisa saja membahayakan hidup mereka. Komodo bebas berkeliaran di pulau tersebut, bersembunyi di bawah rumah mereka, atau di halaman rumah mereka bersama dengan anak-anak mereka. Terlepas benar atau tidaknya cerita itu, saya hanya meyakini bahwa alam akan membalas mereka yang menghormatinya.

seorang warga yang dengan santai telfon sementara di bawahnya komodo sedang berjalan
Selesai dari situ treking pun berakhir. Saya kemudian berjalan kembali menuju kapal, sambil mengucapkan terimakasih banyak kepada ranger yang telah menemani trekingt tadi. Ya, akhirnya saya sudah menginjakkan kaki di Pulau Komodo, yang sering disebut sebagai: Jurassic Park, tempat hidupnya hewan purba dengan kemampuan seperti dinosaurus ini.

dermaga di Pulau Komodo

Manta Point
Saya dan rombongan pun kemudian bergegas meninggalkan Loh Liang menuju destinasi selanjutnya yaitu Manta Point. Daniella, wanita asal Belanda, yang juga ikut dalam rombongan tampak paling antusias kali ini. Dia ingin sekali melihat manta, yang memang entah mengapa bagi wisatawan asing adalah primadona. Manta adalah hewan laut yang mungkin lebih kita kenal dengan nama ikan pari. Manta memang dikenal cukup ramah dengan manusia, sehingga seringkali kita lihat foto para penyelam yang bermain dengan manta. Namun kisah kematian Steve Irwin yang disengat ekor manta juga cukup menjadi peringatan bagi kita, bahwa hewan liar tidak selamanya mampu kita prediksi perilakunya.

Begitu sampai di spot yang biasa ditemukan manta, maka kapal saya pun hanya berputar-putar di perairan tersebut. Cukup luas memang tempat tersebut, sehingga kalau kita harus berenang mencarinya akan memakan waktu yang lama.

seorang ABK yang berdiri di ujung kapal untuk mencari manta di laut

Dan lagi-lagi saya beruntung, ada beberapa manta yang nampak di dasar laut. Memang seringkali, manta tersebut akan naik ke permukaan, tapi mendapati manta di spot tersebut saja sudah sebuah keberuntungan besar. Saya dan rombongan yang sudah bersiap-siap pun kemudian langsung terjun ke laut. Jika Anda bukan perenang yang hebat jangan malu untuk meminta life jacket kepada crew kapal. Karena perairan di sini cukup dalam, sekitar 7-10 meter. Seekor manta berukuran sedang, tampak ada di bawah saya. Kemudian bersahutan Peter dan Daniela yang menemukan manta di tempat lain. Saya pun kemudian menghampiri ke sana, sampai kemudian tanpa saya sadari ada 3 manta tepat di bawah saya. Salah satunya berukuran cukup besar, dengan lebar mungkin lebih dari 2 meter. Ingin rasanya berenang ke dasar dan melihat hewan tersebut dari dekat. Sayang kami tidak membawa peralatan diving. Tapi hanya dengan snorkle pun sudah cukup menyenangkan melihat primadona laut tersebut.

dua ekor manta di bawah saya
Kanawa Island
Selesai dari mana point, saya dan rombongan pun sudah sangat puas. Kami mendapatkan 2 hari yang menyenangkan. Cuaca buruk yang sebelumnya melanda Labuan Bajo, tiba-tiba menjadi sangat bersahabat. Bahkan selama 2 hari di perairan Flores kami tidak mengalami kehujanan. Tujuan selanjutnya adalah Pulau Kanawa. Sebenarnya saya diberi pilihan antara berhenti di Pulau Kanawa atau Pulau Bidadari. Harus dipilih salah satunya, karena pukul 18.00 WITA kapal harus sudah berlabuh di Labuan Bajo. Saya pun memilih untuk snorkeling di Pulau Kanawa. Saya tertarik dengan Kanawa Island Resort di sana, yang katanya dikelola oleh dua orang Italia. Konon katanya, dua orang Italia tersebut cukup over protected dengan pulau yang dikelolanya.

Benar saja, begitu akan merapat di dermaga Pulau Kanawa terdapat papan peringatan “Dilarang Membuang Jangkar”. Jadi kapal yang merapat di sana cukup mengikatkan tali ke dermaga, tanpa perlu membuang jangkar yang dianggap bisa mengganggu ekosistem karang di sana.

Dermaga Pulau Kanawa cukup eksotis, bentuknya tidak lurus dan rapi karena disusun dari kayu-kayu kecil. Tapi di ujung dermaganya terdapat semacam gasebo yang dilengkapi kantung tidur. Ah tampak menarik untuk disinggahi. Dan di sekeliling dermaga tersebut terdapat perairan dangkal yang terdapat beberapa batuan terumbu karang. Segerombolan ikan juga bersembunyi di dermaga tersebut. Saya pun tertarik untuk stay satu malam disana.

dermaga di Kanawa Island
welcome to Kanawa Island!


Harga menyewa bungalow di sana adalah Rp. 330.000/malam untuk dua orang. Atau ada pilihan alternatif yang sebenarnya lebih menarik yaitu mendirikan tenda di pinggir pantai. Ada pilihan mendirikan tenda sendiri, atau menyewa tenda dari resort tersebut. Harga bervariasi mulau dari Rp 75.000/orang. Namun dikarenakan saat saya ke sana cuaca sedang kurang baik, maka kami tidak disarankan untuk mendirikan tenda. Akhirnya saya dan pacar saya memutuskan untuk menyewa bungalow yang cukup sederhana tersebut.

bungalow di Kanawa Island
Setelah memesan bungalow, saya kemudian kembali ke kapal untuk mengambil barang-barang saya dan berpamitan dengan Peter, Tony, dan Daniela, 3 orang asing yang menjadi teman seperjalanan selama 2 hari. Begitu juga saya pamit dengan Mas Kiran, kapten kapal saya, seorang pemuda tangguh dari Labuan Bajo. Saya katakan kepada mereka bahwa 2 hari tersebut sangatlah menyenangkan, dan saya tidak sungkan untuk mengulanginya lagi J

Kembali, ke Kanawa Resort Island, dikarenakan ini adalah sebuah pulau kecil yang terpisah dari Labuan Bajo, jadi ada beberapa kebijakan terkait listrik dan air tawar di sini. Air tawar kita hanya dijatah satu bak tiap harinya, begitu juga listrik akan masuk ke bungalow tiap jam 18.00-23.00 WITA. Tetapi pihak resort juga memberi kesempatan listrik dan air tawar 24 jam di restoran tersebut. Sehingga para tamu yang membutuhkan bisa segera kesana. Selain itu beberapa aturan ketat juga diberlakukan, seperti dilarang menyalakan api unggun tanpa seijin pihak resort. Dan juga kebijakan konservasi terumbu karang yang melarang kita untuk menyentuh apapun selama aktifitas di bawah laut. Selain terdapat beberapa starfish yang berkeliaran, beberapa hewan yang beracun, tentu saja menyentuh terumbu karang bisa melukai mereka. Jadi singkat kata, jangan sentuh apapun selama di bawah laut.

Pantai yang indah di Kanawa Island
Apa yang bisa kita lakukan di sana? Selain snorkeling di sekitar dermaga, kita bisa bermain kano, diving, bermain voli di pinggir pantai, treking ke atas bukit untuk menikmati pemandangan dari atas atau sekedar bersantai di pinggir pantai/dermaga. Cukup menyenangkan bukan? Nampaknya satu hari terlalu singkat untuk melakukan semua itu.

Saya kemudian menghabiskan sore saya dengan berjalan-jalan di pinggir pantai, snorkeling, dan menunggu sunset di dermaga sambil ngobrol dengan salah satu pekerja di pulau itu. Saya banyak mendapat cerita tentang dua orang Italia pemilik pulau tersebut. Dari orang tersebut saya kemudian tahu bahwa ternyata pulau tersebut disewa (bukan dibeli) untuk jangka waktu 38 tahun oleh dua orang Italia tersebut. Masalah harga, mereka tidak berani mengkonfirmasi, tapi gosip-gosipnya (haha) disewa seharga Rp. 3,8 M untuk 38 tahun. Mendengar pernyataan tersebut, yang terbersit di pikiran saya adalah Feni Rose. Iya, Feni Rose yang sedang menawarkan apartemen dari Agung Podomoro Group (sampai hafal) dengan harga sekian miliar. 




Untuk masalah makan, mau tidak mau kita harus ke Starfish Bar and Resto yang ada disana. Dan harganya pun jelas cukup mahal bagi saya wisatawan lokal. Tapi mau bagaimana lagi, karena itu satu-satunya sumber makanan di pulau tersebut. Saya dan pacar saya pun memesan pizza. Karena pulau ini dikelola orang Italia, jadi wajar pizza yang disajikan pun cukup enak. Harganya pun tidak terlalu mahal. Ya daripada beli gado-gado seharga Rp 35.000, saya lebih memilih pizza seharga Rp. 45.000 yang bisa kenyang dimakan berdua.

makan malam ala Kanawa Island
Keesokan paginya saya harus bergegas karena fasilitas transportasi gratis yang diberikan pihak resort untuk kembali ke Labuan Bajo adalah pukul 9.00 WITA. 2 hari dan 2 malam tepat saya habiskan di perairan Flores, Manggarai Barat ini. Menemui naga purba langsung dari habitatnya, snorkeling di Pantai Merah, dan melihat manta si primadona laut. Pengalaman yang menyenangkan. Sembari meninggalkan pulau ini, saya hanya bisa berkata dalam hati: Saya harus kembali ke tempat ini suatu saat nanti! Harus!

*ditulis dengan senyum-senyum sendiri di depan laptop, secangkir coklat panas, dan Nick Drake*

Rabu, 04 April 2012

Keindahan Taman Nasional Komodo: Tak Hanya Sekedar Kadal Raksasa (Day 1)

Perjalanan saya dimulai tanggal 9 Maret 2012 di Labuan Bajo, Flores, NTT. Sehari sebelumnya saya mendapatkan livingboat dengan harga yang cukup murah untuk perjalanan 2 hari 1 malam ke Pulau Rinca dan Pulau Komodo, serta beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya, yaitu 500ribu/orang. Namun konsekuensinya saya dan pacar saya harus berbagi boat dengan 3 orang asing yaitu, Peter dari Polandia, Daniela dari Belanda, dan Tony dari Australia. Tiga orang yang kemudian menjadi teman perjalanan saya selama dua hari.

Perjalanan dimulai pukul 8.00 pagi. Semalam sebelumnya hujan deras melanda Labuan Bajo hampir semalaman penuh. Untung bagi saya karena di pagi harinya cuaca agak bersahabat, hanya gerimis-gerimis kecil. Sepanjang perjalanan saya hanya bisa berharap cuaca akan lebih membaik. 2 jam perjalanan menuju Pulau Rinca saya disuguhi pemandangan pelabuhan Labuan Bajo. Awalnya saya sedikit mual dengan diombang ambingnya kapal ini karena arus yang cukup besar. Namun kemudian nampaknya saya terbiasa, bahkan sampai 3 hari di kapal J

kiri-kanan: saya, Daniela, Mas Kiran (kapten kapal), Peter, dan Tony. Dan Diah pacar saya yang mengambil foto =D

Pulau Rinca
Pulau Rinca adalah pulau terluar dari Taman Nasional Pulau Komodo, sehingga paling mudah dijangkau dari Labuan Bajo. Pulau ini juga menjadi habitat hidup populasi komodo. Oleh sebab itu, terkadang beberapa wisatawan hanya pergi ke pulau ini saja, selain jaraknya yang dekat tentu saja ongkos yang lebih murah. Sesampainya di Loh Buaya (dermaga Pulau Rinca) saya dan rombongan kemudian harus berjalan beberapa meter untuk sampai di Pos Awal. Di sini kita diharuskan membayar retribusi atau apapun lah itu namanya. Biaya ini berlaku untuk perjalanan selanjutnya ke Pulau Komodo, jadi simpan baik2 bukti pembayaran tersebut.

Di pos ini sempat terjadi perdebatan kecil, dikarenakan terdapat aturan baru per 1 Maret 2012 tentang biaya masuk bagi wisatawan lokal sebesar Rp 20.000 dan wisatawan mancanegara sebesar Rp. 50.000. Sebelumnya, setahu saya bea masuk untuk wisatawan lokal sebesar Rp 2.500 dan wisatawan mancanegara Rp. 20.000. Tapi anehnya, di sini pengelola TNK (Taman Nasional Komodo) menarik bea masuk lama, lalu ditambah bea masuk yang ditarik oleh pegawai kabupaten Manggarai Barat. Nampaknya ada sedikit kurang koordinasi antar kedua lembaga ini. Belum lagi biaya boat parking  sebesar Rp. 50.000/rombongan. Saya pun sedikit merasa malu dengan tiga orang asing di rombongan saya, karena biaya yang tidak jelas ini. Lalu kita juga harus membayar fee untuk ranger yang akan menemani saya dan rombongan selama treking di Pulau Rinca. Jadi ranger ini semacam guide sekaligus pawang. Biaya yang harus dibayarkan adalah Rp 50.000/rombongan. Jadi total saya sebagai wisatawan lokal harus membayar Rp. 42.500, cukup mahal memang. Itu saja masih untung karena saya tidak dikenakan biaya kamera yang saya sembunyikan di dalam tas. Jadi saya berbohong dengan petugas di Pos pembayaran dengan mengatakan bahwa saya dan rombongan tidak membawa kamera. Bayangkan jika satu kamera saja diberi ongkos masuk sebesar Rp. 50.000. Padahal ongkos bea masuk pun sudah tidak jelas dengan standar ganda semacam itu. Setelah selesai urusan administrasi, dan sedikit briefing oleh ranger, kami serombongan kemudian memilih treking jalur panjang.

ranger yang saat itu menemani saya dan rombongan
Di awal treking, kami berhenti di dapur. Karena di sini terdapat banyak komodo yang sedang berkumpul. Mereka berkumpul karena mencium bau masakan ataupun daging dari dapur tersebut. Titik ini juga sering menjadi tes bagi para pengunjung. Jika ada seseorang yang berdarah atau haids (bagi yang wanita) makan di sini adalah tempat uji apakah dia pantas melanjutkan treking atau harus berhenti di sini. Jika komodo-komodo tersebut menjadi agresif karena kedatangannya, maka pengunjung tersebut diharuskan kembali ke kapal dan tidak diperkenankan mengikuti treking. Karena seringkali beberapa pengunjung tidak percaya dan tidak mengaku kepada ranger kalau dirinya sedang berdarah atau haids. Di sini juga menjadi spot untuk foto-foto tentunya.




Setelah puas berfoto-foto kami kemudian melanjutkan perjalanan. Treking panjang ini akan memakan waktu sekitar 2 jam. Jadi persiapkan diri Anda sebelum melakukan treking. Selain komodo, kita juga akan menemui monyet, beberapa jenis burung, dan banteng yang hidup di alam bebas. Saya cukup beruntung karena di tengah perjalanan tersebut saya dan rombongan berhasil menemukan seekor komodo yang sedang menggali lubang mencari telur komodo lain untuk dimakan. Kenapa cukup beruntung? Bisa menemukan satu komodo di treking ini saja sudah beruntung, apalagi ketika mereka sedang beraktivitas normal. Perlu diingat, ini treking alam bebas bukan kebun binantang, jadi jangan kecewa kalau Anda sedang tidak beruntung dan tidak menemukan komodo saat treking. Kalau mau ketemu komodo ya bawa apa gitu yang berdarah-darah. Dijamin tidak perlu mencari, mereka yang akan menghampiri =D

komodo yang menggali lubang mencari telur untuk dimangsa
Ranger yang mendampingi saya di Pulau Rinca cukup informatif dan ramah. Dia banyak memberi informasi terkait kehidupan komodo. Jangan ragu untuk bertanya, karena itu yang menyenangkan dari wisata ini yaitu mengenal kehidupan komodo langsung dari habitatnya. Dari ranger ini juga diketahui bahwa ukuran komodo di Pulau Rinca lebih kecil daripada di Pulau Komodo. Komodo jantan di Pulau Rinca kira-kira ukurannya sama dengan ukuran betina di Pulau Komodo. Wohoo! Membuat saya semakin tidak sabar untuk mendatangi si naga purba tersebut. Perjalanan di Pulau Rinca pun berakhir, sesampainya di kapal saya sudah disuguhi dengan makan siang  oleh para crew kapal. Makan siang di atas air, kapan lagi?



Pink Beach
2 jam perjalanan dari Pulau Rinca saya kemudian sampai di Pink Beach. Sebuah pantai indah, nan terpencil di perairan Flores. Pantai ini juga sering disebut dengan sebutan Pantai Merah oleh penduduk sekitar. Warna merah atau pink ini diambil dari pasir pantainya yang memang berwarna pink. Iya, saya tidak bohong. Sangat cantik memang! Warna merah ini berasal dari serpihan batu merah yang tersebar di sepanjang pantai. Batu berwarna merah ini sangat langka dan hanya dijumpai di beberapa pantai di dunia. Selain pemandangan pantai dan pasirnya, Pink Beach juga terkenal dengan taman bawah lautnya yang sangat indah. Sehingga tempat ini menjadi spot yang sangat baik untuk melakukan snorkeling. Dengan air yang jernih dan batu coral nya yang berwarna-warni menjadi habitat hidup ratusan ikan kecil yang sangat membuat kita seolah berenang di aquarium pribadi.
dari atas kapal sudah terlihat jelas terumbu di dasar air

penduduk asli pulau komodo yang menjajakan souvenir
Cara untuk mencapai pantai ini tentu saja dengan berenang ke tepian. Dikarenakan kapal tidak bisa merapat terlalu dekat dengan pantai, karena tentu saja akan merusak terumbu karang di bawahnya. Melihat pemandangan pantai berwarna pink dan air yang sangat jernih sehingga tampak terumbu karang di bawah sana, membuat saya dan rombongan sangat berantusias. Saya pun langsung bergegas berganti celana renang, pasang case waterproof untuk kamera poket, dan langsung terjun. Setelah puas snorkeling sekitar pukul 17.00 kami pun bergegas kembali ke kapal. Selain dikarenakan hari sudah mulai gelap, arus di pantai sudah mulai kencang.


keindahan bawah laut Pink Beach

pasir berwarna merah muda di Pink Beach!

Pulau Kalong
1 jam kami menuju sebuah pulau yang dinamakan Pulau Kalong. Pulau ini bernama demikian dikarenakan banyak burung kalong yang hidup di pulau tersebut. Dan ketika malam, ratusan dari mereka akan keluar dari sarangnya. Perairan di sini cukup tenang karena dikelilingi beberapa pulau kecil lainnya. Sehingga menjadikan tempat ini sebagai tempat yang cocok untuk bermalam. Beberapa kapal juga berkumpul di tempat ini. Mereka saling mengikatkan kapal satu sama lain, agar semakin kokoh menahan arus. Di pulau ini ini juga merupakan tempat favorit untuk mengambil foto sunset, namun saat saya mencapai sana hari sudah terlanjur gelap.

senja di perairan Pulau Kalong
Kami pun menghabiskan waktu menjelang malam dengan saling bercerita. Sebuah pengalaman yang menyenangkan tentunya berbagi pengalaman dengan orang baru. Saling bertukar cerita tentang kultur di negara masing-masing. Bagaimana orang Polandia tiap hari menghabiskan berbotol2 susu, atau orang Belanda yang gila dengan keju. Sementara saya orang Indonesia banyak menggunakan susu alternatif, seperti susu kambing atau susu kedelai =D

Seketika makan malam sudah dihidangkan. Setelah makan malam kami pun kembali bercerita, sambil minum bir. Dan sesekali Tony si orang Australia bernyanyi untuk kami. Mulai dari Elvis Presley sampai Whitney Houston. Pukul 23.00 kemudian kami memutuskan untuk tidur. Cukup nyaman dikarenakan crew kapal menyediakan matras, kasur, bantal, dan bahkan selimut. Hari yang menyenangkan diakhiri dengan tidur di atas laut!

Selasa, 03 April 2012

Labuan Bajo, Pintu Masuk Menuju Pulau Komodo


Bandar Udara Komodo Labuan Bajo


Mungkin Anda tidak akan pernah mengenal sebuah daerah bernama Labuan Bajo, sampai ketika Anda memutuskan untuk pergi ke Pulau Komodo. Labuan Bajo adalah sebuah pelabuhan di ujung barat Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur. Pelabuhan ini menjadi pintu masuk pariwisata ke kawasan Taman Nasional Komodo. Akses menuju tempat ini bisa dikatakan tidak terlalu susah. Ada beberapa maskapai yang terbang dan mendarat di Bandara Komodo Labuan Bajo. Beberapa di antaranya Merpati, Trans Nusa, dan Aviation Sky. Jaraknya hanya sekitar 1,5 jam penerbangan dari Denpasar. Atau Anda juga bisa mendarat di pelabuhan Labuan Bajo menggunakan kapal feri yang berangkat dari Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat.

Kampanye pemenangan Pulau Komodo sebagai bagian dari salah satu keajaiban dunia lah yang membuat saya memutuskan harus menuju ke tempat ini. Meskipun sangat ramai dengan aktifitas pariwisata, terutama di bulan Mei – Agustus namun daerah ini masih berupa sebuah daerah yang sederhana. Selama perjalanan dari bandara, saya bisa melihat banyak rumah-rumah penduduk yang berasal dari kayu, beberapa bagiannya masih berupa hutan. Daerah paling ramai tentu saja di sekitar pelabuhan, beberapa penginapan sederhana berjejer dan berdesakan dengan rumah warga di sana. Saat saya ke sana satu bulan yang lalu bahkan trotoar baru saja dibangun di daerah ini, padahal daerah ini adalah pusat pariwisata di Labuan Bajo. Begitu juga dengan sebuah bangunan kantor pos yang nampak masih baru. Perbincangan saya dengan salah seorang warga menuturkan bahwa jalan aspal di pinggir pelabuhan ini baru saja dibangun sekitar 8 tahun yang lalu. Pasca pemekaran daerah sekitar 8 tahun yang lalu, Labuan Bajo menjadi ibukota dari Kabupaten Manggarai Barat, terlepas dari Ruteng yang saat itu menjadi ibukota Kabupaten Manggarai. Nampaknya pemekaran kabupaten tersebut yang kemudian membuat pemerintah lokal mampu memaksimalkan pembangunan di Labuan Bajo.

Sebagian warganya masih hidup sebagai nelayan. Beberapa hasil tangkapannya seperti gurita menjadi komoditas ekspor yang sebelumnya diangkut ke Bali atau Surabaya. Namun kehidupan di Labuan Bajo nampaknya sedang mengalami pergeseran, beberapa warganya memutuskan untuk terjun ke bidang pariwisata. Beberapa hotel dan penginapan berdiri  di sana, dari yang kelas melati sampai kelas hotel berbintang. Beberapa kios pun berdiri menjajakan jasa wisata atau sekedar menjual souvenir. Sebuah daerah yang sedang bergeliat menyesuaikan diri dengan para wisatawan yang terus menerus berdatangan ke daerah mereka. Daerah yang menjadi salah satu daerah potensial wisata dalam beberapa waktu ke depan. Harga tanah dan komoditi mulai meningkat. Semoga bisa berdampak positif bagi warga di sana.

suasana pelabuhan Labuan Bajo

Satu hal yang akan terus saya ingat tentang Labuan Bajo adalah para calo. Sedikitnya informasi di internet mengenai perjalanan ke Pulau Komodo membuat saya benar-benar buta ketika baru saja mendarat ke Bandar Udara Komodo Labuan Bajo. Dan yang menyambut saya pertama kali ketika sampai di bandara adalah para calo yang sudah berjibun menunggu di depan pintu kedatangan. Saran saya, rencanakan di mana Anda akan menginap di Labuan Bajo. Banyak sekali pilihan penginapan di sana. Ada beberapa penginapan yang juga menempel informasi tentang mereka di ruang kedatangan bandara. Jika sudah mempunyai tujuan, tanyakan pihak penginapan dengan apa Anda akan kesana, dan berapa ongkosnya, atau kalau perlu minta dijemput. Hal ini untuk menghindarkan Anda “ditembak” di tempat tujuan dengan harga transportasi yang mahal.

Saya memutuskan untuk menginap di Hotel Komodo Indah. Sebuah tempat penginapan sederhana, bukan hotel menurut saya, tapi itulah namanya. Berada di dekat pelabuhan, yang menjadi pusat di kota tersebut memudahkan Anda untuk berjalan-jalan mencari makan atau mencari informasi pariwisata di sekitar pelabuhan. Tarif di penginapan ini dimulai dari 80rb/malam nya. Tanyakan pada tukang ojek, mereka pasti tahu penginapan ini, Hotel Komodo Indah, milik Pak Haji.

Bahkan ketika di hotel pun, pasti akan ada orang yang tiba-tiba mendatangi Anda menanyakan apakah Anda sudah membooking livingboard untuk menuju Pulau Komodo/Pulau Rinca. Harga dari tiap paket yang mereka tawarkan pun sangat bervariasi. Untung Mas Teddy, orang yang mengelola penginapan ini, memberi banyak informasi kepada saya. Dia menyarankan saya untuk berjalan di sekitar pelabuhan dan bertanya kepada tiap-tiap  biro perjalanan, dan cari harga yang paling murah. Sore hari pun saya kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar dermaga pelabuhan sekalian mencari informasi mengenai harga untuk tiap paket perjalanan menuju Pulau Komodo. Harga awal yang saya dapat adalah harga Rp 1,6jt utk dua orang. Dengan paket perjalanan 2 hari 1 malam, Pulau Rinca – Pink Beach – Pulau Kalong – Pulau Komodo – Manta Point – Pulau Kanawa. Namun saya belum menyerah untuk mencari ke agen-agen lain. Sampai akhirnya saya mendapatkan sebuah agen perjalanan yang sudah mempunyai 3 tamu wisatawan asing, dan tentu saja saya kemudian mendapatkan harga yang lebih murah. Saya mendapatkan harga 500rb/orang dengan paket yang sama 2 hari 1 malam.

Setelah puas mendapatkan livingboard dengan harga yang cukup murah untuk keesokan harinya, saya kemudian memutuskan untuk mencari makan malam. Sebuah keputusan yang susah, karena tidak banyak rumah makan di sana. Beberapa restoran dan kafe nampaknya cocok untuk budget wisatawan asing, dan akan sedikit mahal untuk wisatawan lokal seperti saya. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah warung makan seafood bernama Cahya Jakarta, harganya relatif murah dibanding restoran lain di sekitar pelabuhan, namun rasanya sangat enak (menurut saya). Cumi goreng mentega dan Sapi goreng lada hitam-nya dicampur dengan sambal khas daerah sana yang sangat reccomended! Banyak cafe dan bar di sekitar sana yang menyediakan bir, cukup identik dengan kafe-kafe di daerah Sosrowijayan di Jogja, lumayan untuk menghabiskan malam di pinggir pelabuhan. Setelah itu saatnya untuk kembali pulang ke penginapan, beristirahat guna perjalanan liveabroad selama 2 hari 1 malam, perjalanan sesungguhnya untuk bertemu komodo!

salah satu kapal yang merapat di kala malam hari di Labuan Bajo

Itinerary Trip To Komodo



Setelah sekian lama, akhirnya saya memutuskan untuk kembali menulis. kali ini tentang perjalanan hampir sebulan yang lalu, ketika saya dan pacar saya menuju kawasan Taman Nasional Komodo di Flores, NTT. Banyak yang menanyakan itinerary nya. Oleh sebab itu ini itinerary saya secara singkat.
  1. Hari pertama, 8 Maret 2012. Sampai di Bandara Ngurah Rai sekitar pukul 23.30 WITA. Saya memutuskan untuk menginap di bandara, guna menghemat biaya penginapan dan transportasi, karena pesawat ke Labuan Bajo berangkat pukul 9.00 WITA. Di depan terminal kedatangan domestik ada sebuah kursi panjang dan besar di bawah TV dekat alfamart, banyak orang yang juga tidur disana.
  2. Hari kedua, 9 Maret 2012. Pukul 10.30 sampai di Bandara Komodo Labuan Bajo. Sesampainya ke sana menginap di Hotel Komodo Indah, dekat sekali dengan pelabuhan. Cari ojek agar lebih murah, hanya sekitar 10rb/orang. Biaya menginap mulai dari 80rb/malam, dengan kamar mandi di luar. Cukup nyaman untuk persinggahan. Sore hari jalan2 di sekitar pelabuhan cari livingboat yang murah.
  3. Hari ketiga, 10 Maret 2012. Memulai livingboat pukul 8.00 WITA bersama rombongan menuju Pulau Rinca, ongkos masuk Taman Nasional Komodo adalah 25rb utk wisatawan lokal dan 50rb untuk wisatawan mancanegara. Lalu masih harus membayar 50rb untuk parkir boat, dan 50rb sewa ranger. Kedua biaya terakhir ditanggung satu rombongan. Setelah treking 2 jam, kemudian menuju Pink Beach untuk snorkeling dan berenang. Lalu bermalam di Pulau Kalong.
  4. Hari keempat, 11 Maret 2012. Menuju Pulau Komodo, hanya perlu membayar ranger saja. 50rb untuk satu rombongan. Kemudian menuju Manta Point untuk snorkeling. Lanjut menuju Pulau Kanawa untuk kembali snorkeling. Saya kemudian memutuskan untuk berpisah dengan rombongan dan stay selama 1 malam di tempat ini. Harga sewa bungalo 330rb/malam atau bisa menyewa tenda 150rb/malam utk 2 orang.
  5. Hari kelima, 12 Maret 2012. Kembali ke Labuan Bajo, dengan menggunakan perahu yang disediakan secara gratis untuk pengunjung yang menginap di Kanawa Island. Lalu dilanjut dengan mencari oleh2 di sekitar Labuan Bajo.
  6. Hari keenam, 13 Maret 2012. Kembali menuju denpasar untuk kemudian menginap di rumah teman saya dan esoknya kembali menuju Jogja.

Berikut rincian biaya untuk transportasi.
  1. Jogja – Jakarta – Denpasar. Tiket PP promo AirAsia Big Sale seharga 420rb. Terpaksa lewat jakarta karena tidak ada rute jogja – denpasar (saat itu).
  2. Denpasar – Labuan Bajo. Via merpati airlines, saya juga booking sekitar sebulan sebelumnya, dapat harga promo 980rb untuk tiket PP.
  3. Livingboat. Biaya per orang 500rb untuk 5 orang. 2 hari 1 malam menginap dan makan di atas kapal. dengan rute Labuan Bajo – Pulau Rinca -  Pink Beach – Pulau Kalong – Pulau Komodo – Manta Point – Pulau Kanawa – Labuan Bajo.

Tips:
  • Manfaatkan fasilitas harga promo oleh beberapa maskapai penerbangan. Karena dengan harga normal tiket dari Denpasar menuju Labuan Bajo bisa mencapai sekitar 800ribu sekali jalan. Begitu juga tiket Jogja -  Denpasar bisa mencapai 400rb sekali jalan. Kalau ingin gampang, booking tiket jauh2 hari sebelumnya.
  • Jangan kaget dengan banyaknya calo di Labuan Bajo, mulai dari bandara sampai di pelabuhan. Berjalanlah di sekitar pelabuhan dan jangan malu bertanya dengan bagian tourist information dan cari biro perjalanan yang sudah mempunyai tamu, semakin banyak rombongan anda, semakin murah harga yang anda dapatkan guna membayar ongkos livingboat. Bandingkan harga satu dengan yang lain, dan cari yang paling murah.
  • Bagi anda yang wanita, rencanakan baik2 perjalanan Anda. Jangan sampai anda sedang mengalami haids ketika treking di Pulau Komodo atau Pulau Rinca. Karena penciuman komodo sangat tajam dan peka terhadap darah, atau Anda bisa dikejar  
  • Hindari musim hujan, bulan terbaik adalah bulan Mei – Agustus. Karena komodo sangat senang berjemur di cuaca yang panas. Dan jika Anda ingin lebih tertantang datanglah bulan Juli – Agustus karena itu musim kawin komodo, mereka akan lebih agresif tentunya.
  • Yang harus Anda Bawa: sun lotion, air mineral karena di Pulau Komodo sangat mahal, kamera (kalau bisa juga dgn case waterproof), baterai cadangan, sepatu treking, jas hujan, baju renang, alat snorkeling (bisa sewa di Labuan Bajo 15rb/hari)
  • Untuk provider seluler, telkomsel adalah yang paling lancar di Labuan Bajo dan sekitarnya. Bahkan di pulau kecil tersebut anda masih bisa lancar bbm-an atau twitteran.


Oke, demikian itinerary saya. totalnya berapa? Hitung sendiri ya! Yang jelas perencanaan jauh-jauh hari akan lebih memudahkan dan tentunya lebih murah. Terakhir saya berikan beberapa kontak yang mungkin akan membantu
  • Hotel Komodo Indah – Mas Teddy: 082146439489 (hubungi dia untuk minta dijemput di bandara, atau mungkin sekedar booking kamar hotel)
  • Kencana Adventure – Mas Figo: 081237321023 (hubungi dia untuk hunting harga livingboat, saat itu saya dapat harga dia paling murah, kantornya dekat dengan pelabuhan)
  • Kanawa Island Resort – bisa langsung ke http://www.kanawaislandresort.com/