Jujur, saya bingung memberi judul tulisan ini. Saya bukan tipe
orang yang pandai membuat judul. Awalnya saya ingin memberi judul simpel saja:
"Mendaki Semeru". Tapi apa daya, judul ini baru saja digunakan Ical
alias Aburizal Bakrie, dalam pidato deklarasi pencalonan dirinya menjadi capres 2014.
Oke, memang benar penggunaan filosofi Semeru di sini. Sebelum Islam masuk ke Pulau Jawa, masyarakat Jawa kuno memuja gunung ini. Gunung ini dianggap sebagai perlambang kegagahan dan keteguhan hati. Iya benar, dagu beliau gagah menjuntai bagai Tanjakan Cinta. Beliau juga berteguh hati bahwa Lumpur Lapindo adalah di luar tanggungjawabnya #okesip. Sungguh, beliau yang bersangkutan membuyarkan ide judul saya tersebut. Tanpa bermaksud mengolok-olok saya akan mencoba melanjutkan tulisan saya ini, dan membiarkan ide tentang si mangga berhenti sampai sini.
Oke, memang benar penggunaan filosofi Semeru di sini. Sebelum Islam masuk ke Pulau Jawa, masyarakat Jawa kuno memuja gunung ini. Gunung ini dianggap sebagai perlambang kegagahan dan keteguhan hati. Iya benar, dagu beliau gagah menjuntai bagai Tanjakan Cinta. Beliau juga berteguh hati bahwa Lumpur Lapindo adalah di luar tanggungjawabnya #okesip. Sungguh, beliau yang bersangkutan membuyarkan ide judul saya tersebut. Tanpa bermaksud mengolok-olok saya akan mencoba melanjutkan tulisan saya ini, dan membiarkan ide tentang si mangga berhenti sampai sini.
Sekitar seminggu yang lalu Minggu 8 Juli 2012, saya
dan 6 rekan saya berhasil menapakkan kaki di puncak tertinggi di Pulau Jawa. Tepatnya
di ketinggian 3676 mdpl (meter di atas permukaan laut), Puncak Mahameru, Gunung
Semeru, Jawa Timur. Sudah menjadi impian saya semasa SMA untuk mendaki gunung
ini. Gunung dengan berbagai mitos, yang juga sudah menelan banyak korban.
Tidak, saya belum membaca "Catatan Seorang Demonstran"-nya Soe Hok
Gie, saya juga belum menonton film-nya. Tapi entah mengapa, ketika mendengar
nama Gunung Semeru, dalam angan saya selalu berkata: "Suatu saat saya akan dan harus kesana”.
Saya masih ingat betul bagaimana kaki ini sudah sangat
berat untuk dilangkahkan. Saya hanya terpaku di jalur pasir dan berbatu. Sudah
4 jam saya terjebak di jalur ini. Namun ujung dari trek ini belum juga saya
temui, bahkan belum tampak sama sekali. Saya melewatkan sunrise di
puncak, karena saya memang tidak terlalu tertarik dengan menikmati sunrise di
puncak gunung. Kali ini saya menikmati sunrise di sebuah pijakan berpasir
dengan sudut kemiringan lebih dari 45 derajat.
Saya memang tidak suka dengan trek pasir dan berbatu
kecil ini. Sama halnya dengan Valentino Rossi yang
kurang suka dengan sirkuit Laguna Seca, selalu ada keluhan setiap menghadapi
trek semacam ini. Apalagi jalur berpasir kali ini panjangnya 3 atau bahkan 4
kali lipat dari jalur di Gunung Merapi. Butuh konsentrasi lebih ketika menempuh trek semacam ini. Kita harus sabar, dikarenakan kaki kita pasti akan
terbenam ketika menapakkan kaki di pasir. Sehingga butuh tenaga ekstra. Belum lagi debu yang ditinggalkan oleh para pendaki di depan kita, benar-benar mengganggu pemandangan dan tentu saja pernafasan. Oleh sebab itu penggunaan masker dan google atau kacamata sangat bermanfaat di jalur ini. Seringkali kiriman batu yang menggelinding dari atas juga harus kita hindari jika tidak ingin tertimpa. Sungguh trek yang melelahkan, secara fisik dan terlebih lagi secara mental.
“It's not the
mountain we conquer-but ourselves”. Kata-kata dari Sir Edmund ini
benar-benar memotivasi diri saya. Memang musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Ketika kita bisa mengalahkan diri kita sendiri, maka kita bisa
melakukan hal-hal yang kita anggap di luar kemampuan kita. Sekitar pukul 7.30
atau sekitar total 6 jam mendaki dari Arcopodo, dengan nafas tersendat-sendat saya kemudian menatap wajah
rekan-rekan saya yang sudah menunggu di atas. Wajah-wajah itu menyemangati saya
untuk bergegas sambil mengisyaratkan bahwa Puncak Mahameru sudah dekat.
Matahari sudah tinggi, namun angin kencang dan dingin
masih menyelimuti Puncak Mahameru. Dengan langkah tergopoh dan masih seakan
tidak percaya akhirnya kami bertujuh berhasil mencapai puncak tertinggi di
Pulau Jawa. Kami kemudian disuguhkan pemandangan luar biasa, negeri di atas awan yang dikelilingi gunung-gunung di Jawa Timur, ada Bromo, ada Arjuno Welirang, dan beberapa gunung lainnya. Kondisi cuaca yang cerah membuat kami tidak
berhenti-henti bersyukur atas keagungan alam ini. Kekaguman kami makin memuncak
saat kemudian Kawah Jonggring Saloko menyemburkan kepulan asap tinggi. Lengkap sudah
apa yang kami cari dalam pendakian selama 3 hari tersebut.
Sebuah pencapaian yang akan saya kenang seumur hidup. Sebuah kisah yang akan saya ceritakan kepada anak cucu saya kelak, bahwa pria ini pernah menapaki puncak tertinggi di Pulau Jawa. Puncak yang dipercaya menjadi kediaman para dewa oleh masyarakat Hindu jaman Majapahit tersebut. Dan saya yakin Ical belum pernah sekalipun (bahkan berpikir untuk) kesana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar